RAKSASABERITA - Kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan pajak mendapatkan perlawanan sengit dari Singapura. Setidaknya, empat bank dari negara tersebut melaporkan nasabahnya, yang merupakan WNI, atas kasus penggelapan.
Meski begitu, Indonesia tidak bergeming. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menanggapi santai kabar tersebut, dan menganggapnya sebagai 'pepesan kosong'.
22 Tahun lalu, Indonesia pernah berhasil membawa pulang dana puluhan juta dolar AS yang disimpan di bank Singapura. Uang tersebut disinyalir milik PT Pertamina, yang diperoleh dari Siemens dan Klockner kepada Achmad Thahir karena berhasil meloloskan sebuah proyek.
Oleh Thahir, uang itu disimpan di Bank Sumitomo yang bermarkas di Singapura. Simpanan itu berupa deposito berjangka enam bulan dan jumlahnya mencapai 19 rekening.
Setelah Achmad Thahir meninggal dunia pada 23 Juli 1976, terjadi perebutan harta warisan antara istri Thahir dan kedua putranya, Abubakar Thahir dan Ibrahim Thahir. Kejadian itu dimulai saat Ny Kartika mendatangi Bank Sumitomo untuk mencairkan uangnya dari empat rekening terdiri dari 8,31 juta mark Jerman dan 608.959 dollar AS.
Permintaan itu ditolak Manajer Bank Akira Fujimine, dia lantas memberi tahu dua putra Achmad Thahir. Mengetahui ada upaya pencairan uang, keduanya melawan dan memblokir proses pencairannnya. Bank Sumitomo kemudian membawa sengketa warisan itu ke pengadilan untuk memutuskan siapa yang berhak atas rekening tersebut.
Setelah sengketa tersebut berlangsung lama, rupanya Direktur Utama Pertamina Piet Haryono meyakini uang tersebut merupakan milik perusahaannya. Dari penelusurannya, uang itu berasal dari komisi perusahaan Jerman, Siemens dan Klockner, untuk meneruskan proyek Krakatau Steel yang terbengkalai di Cilegon.
Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo saat itu menunjuk Asisten Direktur Utama Pertamina Achmad Thahir untuk memimpin divisi prasarana pembangunan pembangkit tenaga listrik yang dikerjakan oleh Siemens dan Klockner. Pertamina membutuhkan dana tersebut mengingat utangnya sudah mencapai USD 1,5 miliar. Soeharto lantas memecat Ibnu Sutowo dan merekstrukturisasi utang Pertamina.
Di saat bersamaan, Soeharto menunjuk Mayjen LB Moerdani sebagai asisten intelijen hankam menjadi koordinator untuk mengembalikan uang tersebut. Dia bertanggung jawab langsung kepada Soeharto. Timnya ini beranggotakan tim pemeriksa Pertamina, antara lain Jaksa Agung Ali Said dan Sekretaris Kabinet Ismail Saleh.
Sebelum menempuh jalur hukum, Moerdani mencoba menyelesaikan kasus di luar pengadilan. Dia bersama Albert Hasibuan dan Harry Tjan Silalahi menemui Ny Kartika di Kantor Pengacara Jean Patrie, Genewa, Swiss. Dia menawarkan agar Kartika menyerahkan uang itu kepada pemerintah.
"Saya minta Nyonya menyerahkan uang itu kepada pemerintah. Kalau perlu, saya antarkan Nyonya menyerahkan langsung kepada Presiden."
Rupanya tawaran itu ditolak Kartika. Dia tetap ngotot untuk memiliknya dengan berkata, "Uang itu diperoleh suami saya dengan sah. Saya keberatan menyerahkan uang itu."
"Kalau begitu, kita ketemu di pengadilan," sahut Moerdani tegas.
Sidang pun dimulai sekitar bulan September 1983. Ketiga belah pihak kukuh pada pendapatnya masing-masing. Bahkan, Kartika memiliki klaim kuat di mana komisi merupakan hak yang wajar, dan siapapun dapat menerimanya, tak terkecuali istri presiden, Tien Soeharto.
Pertamina tidak tinggal diam, berbagai upaya dilakukan untuk menggugurkan klaim itu. Dan akhirnya, pada 3 Desember 1992, Pengadilan Tinggi Singapura memutuskan Pertamina sebagai pihak yang berhak menerima uang sejumlah USD 78 juta. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Banding Singapura.
Perjuangan keras dan memakan waktu lama itu akhirnya terbayarkan. Seluruh utang Pertamina akibat salah urus di era Ibnu Sutowo berhasil ditutup, Indonesia pun selamat dari kebangkrutan.
EmoticonEmoticon